Kamis, 27 November 2014

WARISAN NEGERI KITA


  • Begitu banyak warisan negeri kita yang sering dilupakan oleh anak muda jaman sekarang, karena akibat globalisasi. 


Jika pemuda Indonesia malu menjadi pesilat, maka tinggal tunggu waktu akan silat ditinggalkan.

Dulu pendekar pencak silat atau  jawara dianggap “jagoan” atau orang yang berilmu tinggi secara fisik dan lebih-lebih lagi secara spiritual-keagamaan. Di antara mereka banyak yang digelari “orang sakti”. Dalam perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI, para pendekar  berkontribusi besar.

Perguruan pencak silat terdapat di banyak daerah Nusantara untuk mengajarkan ilmu bela diri dan ilmu spiritualitas dengan menjalani rirual-ritual serta pantangan-pantangan tertentu. Silat melestarikan  budaya dan kearifan lokal, sekaligus sebagai benteng terhadap penetrasi budaya asing yang dianggap merugikan. Beberapa  pesantren mengembangkan ilmu pencak silat. Karena itu, jangan heran jika ada kiai yang ahli ilmu agama sekaligus jago silat.

Memang, silat saja bukan sekadar olahraga bela diri. Jauh lebih dari itu, silat penuh dengan kaidah ilmu kehidupan yang cocok dan untuk  diterapkan dalam kehidupan pribadi, bisnis, manajemen, dan kepemimpinan.

Edwin Hidayat Abdullah, eksekutif  muda, yang juga praktisi silat, mengungkapkan itu dalam bukunya, Keajaiban Silat, Kaidah Ilmu Kehidupan dalam Gerakan Mematikan yang baru diluncurkan di Jakarta, belum lama ini.

Sebagian besar isi buku ini memang menyangkut falsafah hidup, yakni hubungan silat dengan pendidikan kearifan, kepemimpinan, manajemen rezeki, manajemen ambisi, dan manajemen konflik. Dilengkapi dengan sketsa gerakan pesilat, buku ini menjelaskan 17 kaidah jalan silat yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Di antara kaidah-kaidah itu berbunyi: Lebih besar belum tentu lebih baik, semakin kuat kita menekan lawan maka semakin kuat lawan bertahan dan balas dendam. Jangan takut pada pukulan, tetapi waspadailah orang yang melontarkan pukulan. Senjata bukanlah perpanjangan tangan, ia adalah bagian dari tubuh. Ada lagi: Ketika sudah mendapatkan apa yang kita mau, berhentilah sebelum memutuskan untuk menambah. Bagus, kan!

Edwin pernah kuliah di Massachusettss Institute of Technology (MIT), Sloan School of Management, Boston, AS, sekolah manajemen top dunia. Di situ ia terkejut ketika menemukan profesornya, Otto Scharmer, ternyata memasukkan kebijakan Timur dalam penyusunan teori universal yang  berguna bagi “leadership” dan manajemen secara keseluruhan, yakni Teori U. Ia tambah terkejut ketika Peter Senge, yang dijuluki salah satu guru manajemen dunia, mengambil kaidah-kaidah aikido, ilmu bela diri Jepang, yang sama dengan kaidah ilmu silat, dalam bukunya, Dance of Change.

Bukan untuk Berkelahi
Sebelum ke Boston Edwin, putra sejarawan dan mantan Ketua LIPI, Taufik Abdullah, ini menemui guru besar perguruan Silek (Silat) Kumango, Lazuardi Malin Maradjo, di Batu Sangkar, Sumatera Barat. Di sini ia mendapat pelajaran bahwa tujuan belajar silat bukan untuk berkelahi, melainkan untuk empat hal, yakni beribadah atau mengenal Tuhan melalui diri sendiri, menjalin silaturahmi, menjaga kesehatan, dan melestarikan budaya. Syekh Abdul Rahman Al Khalidi Kumango, pencetus aliran silat Kumango, mengatakan silat lahir hanya 25 persen, selebihnya adalah olah batin, olah rasa atau pemahaman tentang kaidah-kaidah kehidupan universal.
Buku ini juga mengutip kaidah-kaidah silat Cikalong atau Maenpo Cikalong dari Paguron Pancer Bumi, Cikalong, Haji Ceng Suryana, Silat Golok Seliwa, dan perguruan lainnya.

Menjadi  adimanusia, kok malu?

Dr Eddie M Nalapraya, tokoh legendaris pencak silat Indonesia, dalam sambutannya pada buku ini menyatakan, silat meliputi olahraga, bela diri, seni dan spiritualitas yang kuat untuk mendidik seseorang menjadi  adimanusia atau  “a noble man”. Manusia berbudi luhur.

Mantan Ketum IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia), yang juga mantan Wagub DKI ini membuktikan hal itu. Mayjen TNI (purnawirawan) ini masih tampak sehat, kuat, dan murah senyum pada usianya yang 83 tahun, berkat belajar silat sejak muda.

Pada awalnya ketika baru menjadi Ketum IPSI, lebih 30 tahun lalu, Eddie sering memergoki pesilat yang menyembunyikan pakaian silatnya usai berlatih. Ini beda dengan mereka yang berlatih bela diri asing, yang menggunakan seragam mereka dengan bangga.  Akhirnya, ia  mendapat jawaban yang membuatnya marah dan ingin menangis yakni: “Malu”.

Ia  tidak pernah berpenampilan sebagai jawara atau pendekar silat, tetapi tidak pernah malu mengatakan dirinya pencinta silat. Jika pemuda Indonesia malu menjadi pesilat, katanya, tinggal tunggu waktu mereka meninggalkan  silat dan mengadopsi budaya impor.